Baca Juga: 8 Tokoh Penting di Balik Sejarah Lahirnya Sumpah Pemuda Tanggal 28 Oktober
Namun air laut yang diaduk oleh para dewa mengakibatkan mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya.
Untuk mengatasi wabah ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan.
Sangyang Baruna melantunkan jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra disiramkan pada layar perahu nelayan.
Baca Juga: Apa Itu Rebo Wekasan? Ini Asal Mula, Sejarah dan Tradisi
Meskipun Nadran bernuansa magis dan animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik terhadap keberadaan penguasa alam semesta.
Mereka juga berterima kasih dan memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya diberi kebaikan dan keselamatan.
Baca Juga: Wisata Kuliner di Indramayu, Rugi Kalau Belum Menikmati Pindang Gombyang
2. Tradisi Nadran setelah kedatangan Islam
Setelah Islam datang, Tradisi Nadran tidak lagi dimaknai sebagai sebuah persembahan kepada Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta).
Tetapi dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas karunia yang diberikan-Nya kepada para nelayan, baik itu karunia kesehatan, kekuatan maupun hasil tangkapan ikan yang berlimpah.
Mantra-mantra yang dibacakan dalam prosesi Nadran diganti dengan pembacaan do’a-do’a yang dipimpin oleh seorang ulama.
Lauk pauk hasil bumi yang diikutsertakan dalam upacara ini dibagi-bagikan kepada penduduk desa dangan simbolisasi pembagian berkah.
Pelarungan kepala kerbau ke laut tetap dilakukan, tapi tidak lagi dimaknai sebagai persembahan kepada Dewa Baruna.