Baca Juga: Ingat, PNS Dilarang Cuti Libur Maulid Nabi
Peringatan maulid, meskipun tidak pernah dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallm, namun ia termasuk bid’ah hasanah yang disepakati kebolehannya oleh para ulama.
Peringatan maulid pertama kali dilakukan di awal abad ke tujuh hijriah oleh raja al-Muzhaffar, seorang raja yang mujahid, berilmu dan bertakwa.
Beliau adalah penguasa Irbil, salah satu wilayah di Irak. Dalam peringatan maulid yang ia laksanakan, ia mengundang banyak para ulama di masanya. Mereka semua menganggap baik apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar. Mereka memujinya dan tidak mengingkarinya.
Baca Juga: Mengenang Surekha Sikri, Pemeran Nenek Kalyani di Balikha Vadhu
Para pecinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbahagia, Para ulama sepeninggal raja al-Muzhaffar juga tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari peringatan maulid.
Bahkan al-Hafizh Ibnu Dihyah dan lainnya menulis karangan khusus tentang maulid. Peringatan maulid juga dinilai bagus oleh al-Hafizh al-‘Iraqi, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya.
Hingga kemudian pada sekitar 200 tahun yang lalu, muncul sekelompok orang yang mengingkari peringatan maulid dengan keras. Mereka mengingkari perkara yang dinilai baik oleh ummat Islam dari masa ke masa selama berabad-abad lamanya.
Baca Juga: Penting, Perhatikan Kesehatan Mental Anak Selama Pembelajaran Jarak Jauh
Mereka menganggap bahwa peringatan maulid adalah bid’ah yang sesat. Mereka berdalih dengan sebuah hadits yang mereka tempatkan tidak pada tempatnya, yaitu hadits كُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ (Setiap perkara baru yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi adalah bid’ah).
Hadits ini memang sahih. Akan tetapi maknanya tidaklah seperti yang mereka katakan. Para ulama menjelaskan, makna hadits tersebut bahwa perkara yang dilakukan sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bid’ah yang buruk dan tercela kecuali perkara yang sesuai dengan syariat.
Jadi kata “Kullu” dalam hadits tersebut maknanya bukanlah “semua tanpa terkecuali”, tapi “al aghlab” (sebagian besar). Hal ini sebagaimana dalam firman Allah yang menceritakan tentang angin yang menjadi ‘adzab bagi kaum ‘Ad: تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍۢ بِاَمْرِ رَبِّهَا (سورة الأحقاف: ٢٥) Maknanya: “Angin itu menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya“ (QS al-Ahqaf: 25)
Kenyataannya, angin tersebut tidak menghancurkan segala sesuatu. Tidak menghancurkan bumi dan langit. Angin tersebut hanya menghancurkan kaum ‘Ad dan harta benda mereka.
Baca Juga: Tak Diberitahu Ada Unjuk Rasa, Siswa di Dua Sekolah di Kota Cirebon Dipulangkan Lebih Cepat
Allah menggunakan redaksi “semua”, tapi yang dimaksud adalah “sebagian”. Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم وغيره)
Artikel Terkait
Catat Nih Perubahan Hari Libur, Tahun Baru Islam dan Maulid Nabi Digeser, Cuti Natal Ditiadakan
Twibbon Maulid Nabi Muhammad SAW, Terbaru 2021, Lengkap sampai 20 Link
Mengenal Perayaan Maulid Nabi: Sejarah, Tradisi, dan Dalilnya
Libur Maulid Nabi Muhammad Digeser 20 Oktober 2021, Begini Penjelasan dari Kemenag
Menteri Agama Larang Pawai Keliling Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW
Ingat, PNS Dilarang Cuti Libur Maulid Nabi