Dalam catatan kepolisian, diungkapkan bahwa AMB pada tahun 2010 pernah ditangkap di Pulau Karimun, Kepulauan Riau. Ketika itu, AMB ditangkap dengan barang bukti 1.800 karung amonium nitrat. Dalam setiap karungnya, berisi 25 kilogram zat kimia yang juga dikenal sebagai campuran bahan peledak.
Setelah dinyatakan terbukti bersalah dan menjalani vonis, AMB kembali berulah. Untuk kedua kalinya, AMB ditangkap pada tahun 2018 ketika sedang berada di pelabuhan penyeberangan Pulau Sumbawa. Dari penangkapan keduanya, ditemukan barang bukti detonator sebanyak 2.200 butir.
Dari pemeriksaan, AMB tergiur menjalani bisnis ini karena alasan keuntungan. Karena untuk satu kotak detonator yang dibeli seharga Rp1,2 juta, dapat dia jual kembali dengan harga Rp1,5 juta. Karena perbuatannya, kini residivis yang kembali ditangkap pihak kepolisian itu terancam dikenakan Undang-Undang Darurat Nomor 12/1951. Dalam aturan tersebut, pelakunya terancam pidana penjara seumur hidup.
Sementara itu, Dirpolairud Polda NTB mengatakan bahwa, pihaknya berkomitmen dalam upaya pencegahan aktivitas perusakan biota laut. Salah satu upayanya, lanjutnya, dengan memutus mata rantai suplai bahan baku pembuatan bom ikan yang menurutnya masih terjadi secara masif.
Terkait dengan upaya tersebut, Dirpolairud Polda NTB ini mengatakan bahwa pihaknya kini telah mengantongi identitas penyuplai detonator yang selama ini menjadi sumber pemesanan AMB.
"Kita sudah dapat identitasnya dan dia masih satu jaringan. Jadi kasus ini masih akan terus kita kembangkan," pungkasnya. (gna)