Tak hanya itu, perumahan dokter dan karyawan perawatan dibangun mengelilingi rumah sakit, rupanya hal ini dirancang demi efisiensi. Tidak perlu sarana transportasi bagi pegawai yang memang masih langka pada zaman itu, disamping agar dapat dengan cepat bertindak dalam hal hal yang bersifat gawat darurat. Sarana olah ragapun tidak luput dari pemikiran mereka, maka dibangun pula lapangan sepak bola.
Direktur yang pertama memimpin rumah sakit ini ialah dr. N.F. Liem. Nama dr. Lie mini dan nama isterinya Liembergsma kemudian dipergunakan untuk nama jalan di kompleks perumahan tenaga perawatan.
Baca Juga: Artis CA Terlibat Prostitusi Online, Diumumkan Polisi lewat Instagram
Hingga akhirnya beralih pada masa pendudukan Jepang. Sejak tahun 1942 - 1945 rumah sakit tidak banyak mengalami perubahan. Penguasa Jepang membatasi diri, hanya meneruskan dan menjalankan usaha - usaha yang sudah ada. Dalam periode ini yang perlu dicatat ialah pindahnya poliklinik pada tahun 1944 dari tempat lama yang semula berdampingan dengan kantor administrasi yang sekarang ke tempat yang baru (unit rawat jalan yang lama).
Sesudah Jepang masuk, dokter-dokter Belanda ditawan dan untuk mengisi kekosongan pimpinan rumah sakit maka dr. Notokuworo bertindak sebagai Direktur. Tetapi tidak lama kemudian pimpinan rumah sakit dipegang oleh dr. Buntaran Martoatmodjo sampai tahun 1945.
Dari sini dapat dilihat bahwa sejak pemerintah Hindia Belanda menyerah pada Jepang, rumah sakit ini sudah dipimpin oleh Bangsa Indonesia sendiri. Pemerintah Jepang mengganti nama CBZ menjadi PURUSARA singkatan dari - PUSAT RUMAH SAKIT RAKYAT - yang dalam bahasa Jepang disebut -Chuo Simin Byoing-.
Lalu, Jepang kemudian dapat dikalahkan oleh Sekutu; dan pada saat yang bersamaan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Rupanya pihak Jepang hanya mau tunduk kepada Sekutu, akibatnya meletuslah pertempuran lima hari di kota Semarang. Dokter M Kariadi bersama delapan orang karyawan rumah sakit lainnya gugur sebagai pahlawan dalam masa pertempuran ini. Berhubung dengan itulah maka setiap tahun pertempuran lima hari di Semarang diperingati di rumah sakit ini.
Saat itu, kedatangan NICA di Kota Semarang tidak dapat ditahan lagi. Banyak dokter dan karyawan perawatan yang meninggalkan kota menuju daerah-daerah Republik. Kemudian banyak di antara mereka mendapat kedudukan yang baik di kalangan militer dan dibidang pemerintahan. Berhubung dokter Buntaran sudah lebih banyak berada di Jakarta, maka sejak tahun 1945 sampai dengan 1948 rumah sakit ini dipimpin oleh dr. Soekarjo.
Sesudah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia maka rumah sakit ini berganti nama menjadi RSUP atau singkatan dari RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Semarang, dan sejak tanggal 14 April 1964 diganti menjadi RUMAH SAKIT DOKTER KARIADI ( SK. Menteri Kesehatan No. 21215/Kab/1964 ).
Mulailah para pemimpin rumah sakit memikirkan perkembangan dan pembangunan Rumah Sakit sesuai dengan tuntutan alam kemerdekaan. Jumlah penduduk yang semakin bertambah, pengertian masyarakat tentang kesehatan yang makin meningkat serta kemajuan dibidang ilmu pengetahuan kedokteran menuntut perlu segera penambahan-penambahan fasilitas. Tetapi di pihak lain, keuangan pemerintah belum memungkinkan, maka pimpinan rumah sakit selalu dihadapkan kepada persoalan yang rumit. ***