Sementara Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia Mahfuz Sidik menilai apabila pembelahan sosial dan politik di masyarakat segera tidak diakhiri, maka bisa menyebabkan terjadinya fail state (negara gagal) dan berujung bubarnya negara.
|BACA JUGA: Sikat Habis Pinjol Ilegal, Butuh Koordinasi Polri dan OJK
“Pembelahan sosial dan politik yang terbiarkan, residunya akan semakin mengental dan dapat menyebabkan fail state, negara gagal. Di beberapa negara pembelahan menjadi pemicu negara bubar, sehingga harus ada solusi segera untuk mengkahiri,” kata Mahfuz.
Namun, peneliti komunikasi dan politik Guntur F. Prisanto berpendapat berbeda. Menurutnya, pembelahan sosial politik di media sosial (medsos) bukanlah cerminan realita sesungguhnya, hanya sekadar gambaran di dunia maya saja.
“Sebab pembelahan sosial adalah keniscayaan dalam politik, karena penganut demokrasi liberal perlu mengindentifikasi secara tegas pilihannya. Parpol-lah yang bertanggung jawab untuk mencairkan politik identitas ini,” kata Guntur.
|BACA JUGA: Bawa Empat Penumpang Positif Covid-19, Garuda Indonesia Dilarang Mendarat di Hongkong
Hal senada diamini Dyah Kartika Rini, penggerak JASMEV. Dyah menilai, bisa saja masyarakat tertentu hanya ingin menunjukkan pilihan dukungan dan politik di medsos saja, tetapi tidak dunia nyata.
“Boleh jadi dia amat garang di medsos, tetapi sangat berbeda di dunia nyata. Pembelahan sosial sebenarnya sudah dimulai dari Pilkada DKI 2012 lalu, jadi kalau dihitung sudah berlangsung 9 tahun,” kata Dyah.