Ketiga, sebut Fadli, keputusan melakukan PTM tidak sesuai dengan kebijakan Pemerintah tentang PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) berskala mikro yang diberlakukan di 34 provinsi.
BACA JUGA: Cegah Lonjakan Covid-19, Salatiga Stop Studi Banding ke Luar Kota
“Kebijakan PPKM mengandaikan situasi di seluruh daerah masih sangat berisiko. Masih berisiko tinggi tapi kok malah mau membuka PTM?,” kata Fadli heran.
Keempat, kebijakan PTM mengabaikan kondisi sosiologis dan lapangan. Di atas kertas, kebijakan PTM memang dibatasi maksimal 2 kali dalam sepekan, dan tidak lebih dari dua jam per hari. Kesannya memang seolah-olah ada unsur kehati-hatian dalam kebijakan tersebut.
Namun, pembatasan tersebut hanyalah memperhatikan aktivitas siswa di kelas saja, tetapi mengabaikan cara bagaimana para siswa sampai di sekolah, serta apa yang dilakukan siswa sepulang sekolah.
Menurutnya, tidak semua siswa kita beruntung dapat diantar oleh orang tuanya dengan kendaraan pribadi. Sebagian besar dari mereka harus menggunakan kendaraan umum untuk sampai ke sekolah. Ini potensial menciptakan kerumunan baru, terutama di kendaraan umum.
“Apalagi, saya tak yakin anak-anak akan langsung pulang ke rumah setelah PTM berakhir. Dan kita memang mustahil bisa mengontrol hal-hal semacam itu,” katanya.Sehingga, Fadli menegaskan jika kebijakan membuka opsi PTM pada bulan Juli nanti adalah kebijakan yang membahayakan. “Saya sangat menyesalkan kenapa kebijakan itu terus-menerus digaungkan Pemerintah di tengah situasi masih tingginya risiko penyebaran Covid-19 di kluster sekolah,” pungkasnya. (ibs)