Karna meminta dengan tegas kepada PT Rajawali II guna mengevaluasi HGU kemitraan baik di Majalengka maupun Indramayu.
"Para petani di Majalengka telah menyewa. Seharusnya di Indramayu juga sama," tandasnya.
Bupati meminta tidak boleh ada monopoli dari kemitraan ini.
Peran dari kemitraan itu juga seharusnya diberikan kepada kepala desa penyangga.
"Jangan sampai muncul LSM yang akhirnya menguasai," ujarnya.
Kedepan, lanjut Karna, Forkopimda meminta bagaimana PT Rajawali II Jatitujuh lebih responsif lagi dalam memetakan HGU yang dimitrakan.
“Ternyata masih ada yang belum dimitrakan. Ini yang menjadi sumber konflik. Leading sektor kemitraan ini adalah pabrik gula. Kita hanya mempunyai rakyat. Tanahnya itu kan bukan sengketa batas wilayah Majalengka dan Indramayu melainkan milik pabrik gula," tegasnya.
Menurut Karna, persoalan datang karena sistem kemitraannya. Areal yang digarap oleh masyarakat itu adalah tanah PT Rajawali II.
"Jadi boleh saja orang Indramayu menggarap lahan HGU-nya di Majalengka, begitupun sebaliknya. Sebab ini adalah tanah HGU yang dikuasai oleh PG," bebernya.
Persoalan ini juga bukan berarti Pabrik Gula menyewa tanah orang Indramayu maupun rakyat Majalengka melainkan tanah HGU yang dikuasai oleh Rajawali II.
Forkopimda Majalengka meminta jaminan kepada pabrik gula, agar rakyat yang melakukan kemitraan ini nyaman dan terkawal baik.
"Jika sistem dibangun itu sama, maka tidak ada persoalan. Mungkin akibat tidak sama karena adanya monopoli itu, sehingga menimbulkan suatu konflik," ujarnya.
Karna menambahkan, para kuwu desa penyangga kemitraan juga turut dihadirkan semua dan memberikan penjelasan.
"Petani Majalengka ini tidak menyerobot tanah Indramayu maupun HGU. Sebab kemitraan itu bebas dilakukan," pungkasnya. ***