Jakarta, Klikaktual.com - Presiden Prabowo Subianto memutuskan memberikan 'abolisi' kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), mantan Menteri Perdagangan (2015–2016), yang sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara atas kasus korupsi izin impor gula. Meskipun begitu, untuk Hasto Kristiyanto diterbitkan 'amnesti', bukan abolisi, karena berbeda status hukum.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan DPR telah menyetujui Surat Presiden Nomor R.43/PRES/07/2025 tanggal 30 Juli 2025, menyusul rapat konsultasi antara DPR dan Pemerintah pada 31 Juli 2025.
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, abolisi terhadap Tom Lembong diajukan demi memperkuat rasa persaudaraan dan kondusivitas politik nasional menjelang peringatan HUT RI (17 Agustus). Selain itu, pertimbangan lainnya adalah kontribusi dan prestasi Lembong bagi negara meski terjerat kasus hukum.
Baca Juga: Film My Daughter is A Zombie Berhasil Pecahkan Rekor Penonton Pembuka Tertinggi Sepanjang Masa
Proses abolisi adalah penghentian seluruh tuntutan pidana dan proses hukum yang sedang berjalan. Tom Lembong sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan jaksa 7 tahun, dengan denda Rp750 juta subsider kurungan 6 bulan.
Tim kuasa hukum Tom Lembong menyatakan ketidaktahuan terkait keputusan abolisi dan tengah menunggu salinan resmi untuk membahas konsekuensi hukum pasca-putusan. Sementara pengacara Hasto menyatakan amnesti hanya sah dengan keputusan resmi pemerintah dan DPR, menekankan adanya potensi politisasi hukum dalam kasus kliennya.
Baca Juga: Kategori Honorer ini Akan Diprioritaskan Diangkat Menjadi PPPK Paruh Waktu, Jabatan Apa Saja?
Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Dr Yenti Garnasih, menyebut abolisi adalah hak prerogatif Presiden, namun tetap harus memperhatikan rasa keadilan publik. Ia menyarankan pemerintah lebih transparan dalam menjelaskan alasan abolisi agar tidak menimbulkan kecurigaan atau kesan impunitas.
Langkah Prabowo beri abolisi Tom Lembong menjadi momen penting dalam transisi kekuasaan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan baru mencoba menciptakan stabilitas dan meredam potensi konflik politik. Namun, penting juga bagi publik untuk terus mengawasi dan menuntut akuntabilitas terhadap kebijakan seperti ini. (Syamsi Wajkumar)