Artinya, Indonesia tidak memihak pada kekuatan besar mana pun, mandiri dalam berkinerja, serta terus mengupayakan agar organisasi internasional yang diikuti konsisten dengan tujuan pendiriannya.
"Terbukti, Indonesia selama ini mandiri dalam keanggotaannya dengan organisasi yang dekat dengan Amerika Serikat seperti ASEAN, APEC, G20, dan ASEM," jelasnya.
Baca Juga: Imbas Skandal Poster Parodi Squid Game 2, Park Sung Hoon Hengkang dari Drama The Tyrant's Chef
Lalu, sambung Teuku Rezasyah, mandiri juga dalam berkinerja dengan organisasi yang dekat dengan China.
Seperti RCEP, mandiri juga dalam berkinerja lintas kawasan seperti GNB dan OKI.
Kemudian jika dilihat dari sisi ekonomi, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyebut, salah satu manfaat Indonesia bergabung dengan BRICS adalah memperkuat kerja sama dengan negara-negara yang memiliki pasar potensial seperti Tiongkok dan India.
Sebab, beberapa potensi yang bisa dijajaki antara lain peluang diversifikasi dengan anggota baru BRICS.
Shinta memberi contoh Uni Emirat Arab dan Ethiopia yang bisa dijajal pelaku usaha Indonesia di sektor manufaktur, agrikultur dan energi.
"Pelaku usaha juga dapat memanfaatkan keunggulan teknologi dari anggota BRICS seperti Tiongkok dan Rusia untuk mendukung transformasi industri domestik," ujarnya.
Disisi lain, peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Yeta Purnama mengingatkan, bergabung dengan BRICS bisa dikatakan berisiko, jika terlalu berfokus pada Tiongkok.
"Untuk menghindari risiko ini, Indonesia perlu memainkan peran dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor strategis,"ujarnya.
Seperti investasi dan pembangunan infrastruktur yang menyasar kebutuhan negara-negara berkembang.
Kemudian juga sekaligus mengarahkan investasi pada proyek yang bisa memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota.***