Baca Juga: KAI Daop 3 Cirebon, Rutin Laksanakan Pemeriksaan Lintas Guna Keselamatan Perjalanan Kereta Api
Sementara itu, Koordinator Nasional Seknas JPPRA, Kiai Yoyon Syukron Amin menambahkan, Menag dan Menteri PPPA yang baru juga memiliki sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang perlu segera dilakukan secara lebih fokus, masif, dan serius.
"Kemenag dan Kementerian PPPA harus melanjutkan sosialisasi terkait hak-hak anak dan pencegahan kekerasan melalui pelatihan dan kampanye, termasuk di wilayah yang sulit dijangkau," ujarnya.
Upaya ini meliputi pelibatan para kiai, ustaz, dan pengurus pesantren untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sadar dan peka terhadap hak anak.
Selain itu, diperlukan pula integrasi kurikulum yang mencakup pendidikan terkait pencegahan kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak sehingga santri dan pengurus pesantren memiliki pemahaman yang lebih baik tentang perilaku yang dapat membahayakan anak.
Baca Juga: Instagram Mauro Zijlstra Difollow Erick Thohir, Bakal Diboyong ke Timnas Indonesia?
"Tantangannya juga masih ada. Misalnya, penanganan hukum terhadap pelaku kekerasan di pesantren sering kali lambat dan tidak tuntas, terutama karena adanya intervensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu," kata Kyai Yoyon.
Ini juga dipersulit oleh minimnya akses korban terhadap lembaga hukum dan dukungan sosial.
Belum lagi, banyaknya pesantren yang tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kekerasan yang spesifik membuat penindakan terhadap kasus kekerasan kerap tidak berjalan sesuai dengan standar nasional.
"Pembuatan SOP perlindungan anak di seluruh pesantren ini menjadi penting. Dan ini yang sedang didorong dan dilakukan JPPRA, minimal dimulai dari 50 pondok pesantren yang tergabung dalam jaringan ini," pungkasnya.
Baca Juga: 5 UMKM Binaan BRI Go Global, Ikut Pameran Event Amazing Indonesia di Jeddah
Saat ini, dengan dukungan Kemenag dan Kementerian PPPA, JPPRA telah melaksanakan berbagai inisiatif, program, dan kegiatan terkait pencegahan kekerasan anak di pesantren.
Jaringan yang dideklarasikan sejak 2023 itu kerap melakukan sosialisasi, riset, Focus Group Discussion (FGD), pendampingan korban, serta kampanye pencegahan kekerasan anak di pesantren.