Jakarta, Klikaktual.com - Kebiasaan seseorang saat masak adalah mencicipi masakan yang dibuat terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui rasanya masakan yang dibuat.
Tetapi saat bulan Ramadan, mencicipi masakan apakah bisa membatalkan puasa? Berikut ini penjelasannya.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari laman jabar.nu.or.id mencicipi rasa makanan saat puasa pada dasarnya tidak termasuk bagian dari sesuatu yang membatalkan puasa.
Baca Juga: Bisa Daftar Hari Ini, Cek Link Pendaftaran dan Syarat Mudik Gratis Pemprov DKI Jakarta Disini!
Sebab, mencicipi tidak sama dengan menelan makanan, dimana mencicipi hanyalah upaya untuk memastikan bahwa rasa makanan itu benar-benar sesuai dengan selera, dan tidak sampai tertelan ke dalam perut.
Sehingga, dikarenakan tidak sampai tertelan, maka para ulama menilai tidak membatalkan puasa dan hukumnya pun juga diperbolehkan jika memang diperlukan.
Hal ini merujuk pada pendapat Imam Ibnu Abbas RA, yang mengatakan boleh-boleh saja orang puasa mencicipi sesuatu ketika sedang puasa.
Baca Juga: Jadwal Imsak dan Berbuka Puasa untuk Kota Cirebon 8 Ramadhan 1446 H atau 8 Maret 2025
Sebagaimana dikutip oleh Syekh Badruddin al-Aini dalam salah satu karyanya, ia mengatakan yang artinya sebagai berikut.
"Dari Ibnu Abbas, ia berkata, tidak masalah apabila seseorang mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk pada kerongkongan, dan ia dalam keadaan berpuasa," Al-Aini, Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari.
Sedangkan, menurut pendapat Syekh Sulaiman As-Syafi’i Al-Makki, bahwa hukum asal dari mencicipi rasa makanan bagi orang yang sedang puasa adalah makruh, jika memang tidak ada kebutuhan (hajat) untuk mencicipinya.
Baca Juga: 3 Tempat Lesehan di Surabaya yang Pas untuk Berbuka Bersama Keluarga
Sebab, mencicipi makanan bisa berpotensi membatalkan puasa. Namun jika ada kebutuhan, seperti juru masak, maka hukumnya boleh-boleh saja dan tidak makruh.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan, mencicipi makanan saat puasa tidak membatalkannya selama tidak tertelan.
Hanya saja, hukumnya makruh jika memang tidak ada kebutuhan, dan tidak makruh jika ada kebutuhan, sebagaimana pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah.