news

BWCF 2025 Sukses Digelar, Menyalakan Obor Semangat Merawat Warisan Sejarah dan Pemikiran

Rabu, 26 November 2025 | 09:56 WIB
Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-14 tahun 2025 di Keraton Kacirebonan

CIREBON- Malam penutupan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-14 tahun 2025 di Keraton Kacirebonan terasa syahdu. Angin malam mengalir lembut, menyatu dengan alunan musik, lantunan sholawat dan doa dari penampulan Seni Brai Sekar Pusaka.

Kesenian khas Cirebon itu seperti memanggil kembali sejarah, menyingkap kisah-kisah yang telah lama tersembunyi di balik reruntuhan waktu, sambil membelai hati para penikmatnya dengan kehangatan yang tak terlukiskan.

Selama tiga hari, 20-22 November, keraton ini menjadi pusat pertemuan intelektual, seniman, dan peneliti dari berbagai penjuru Nusantara dan dunia. Di tengah kemegahan arsitektur bersejarah, para peserta menyelami diskusi mendalam tentang warisan budaya, tradisi, dan sejarah Nusantara, menorehkan makna baru bagi generasi masa kini.

Hari terakhir dimulai dengan simposium bertajuk “Tarekat Syattariyah di Cirebon & Sumatra, Kontribusinya dalam Perlawanan terhadap Kolonial”. Para pembicara menghadirkan paparan kaya data dan narasi yang menyentuh hati. Dr. Mahrus El Mawa mengupas “Naskah Syattarian Cirebon dalam Jejaring Islam Nusantara”, sementara Prof. Dr. Peter Carey menyoroti “Perlawanan Diponegoro dan Hubungannya dengan Tarekat Syattariyah di Cirebon”.

Baca Juga: Hari Kedua BWCF 2025, Menyatukan Warisan Spiritual dan Suara Budaya Nusantara

Dr. Ginanjar Syaban menyambung dengan paparan tentang “Jaringan Ulama Syattariyah di Sumatera dan Jawa”, diikuti Dr. Alfan Firmanto yang memperlihatkan keindahan ilustrasi dalam manuskrip Syattariyah Cirebon. Seluruh sesi dipandu dengan cermat oleh H. Syaeful Badar, M.A., yang menjaga alur diskusi tetap hidup dan bersemangat.

Dalam Forum Call for Presentation, tradisi ziarah di berbagai pemakaman Nusantara menjadi fokus utama. Dari Aceh hingga Bangka Belitung, para peneliti membedah transformasi dan makna sosial-budaya ziarah. Dr. Wahyu Widodo membuka wawasan baru tentang penyebaran dan pelokalan ilmu keghaiban aksara di Nusantara, memperlihatkan bahwa setiap ritual, setiap makam, memiliki cerita yang tak lekang oleh waktu.

Acara ini tidak hanya soal diskusi akademik. Ada juga kelas sinema oleh Dr Nurman Hakim yang membahas tentang tantangan dan masalah film bertema Islam di Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter Sound Journeys: The Art of Otto Sidharta oleh Jean-David Caillouet dari Prancis.

“Acara BWCF ini menurutku sangat menarik dan penting bagi orang-orang muda. Saya jadi tahu sejarah lebih dalam, termasuk perkembangan Syattariyah dan tradisi ziarah Nusantara yang mungkin banyak orang muda tidak mengetahuinya. Bahkan peran perempuan Nusantara dalam sejarah sufi, seperti Nyi Ageng Serang, diakui dan ditempatkan pada posisi strategis. Ini transmisi pengetahuan yang sangat berharga,” kata Asih Widiyowati, Dosen ISIF Cirebon yang hadir dalam gelaran BWCF.

Asih berharap BWCF bisa menjadi agenda rutin tahunan di Kota Cirebon.

Baca Juga: BWCF ke 14 Resmi Dibuka, Menyulam Kembali Kisah Peradaban Nusantara dari Jejak Nisan Tua

“Mungkin bisa digelar lagi dengan tema baru yang kembali mengangkat kekayaan Nusantara. Generasi muda, khususnya, juga punya caranya sendiri untuk mengenal dan menghidupkan sejarah kita. Ini tentang memelihara semangat leluhur sambil menyesuaikannya dengan konteks hari ini,” tuturnya.

Sementara itu, Kurator BWCF, Seno Joko Suyono, menyoroti sisi heritage yang sering terlupakan. Seperti tema BWCF tahun 2025 "Estetika Nisan-nisan Islam Nusantara dan Dunia Ketuhanan Tarekat Syattariyah di Cirebon”.

“Nisan itu bukan sekadar penanda orang mati. Ada ornamen, estetika, dan sastranya,” ujarnya .

Halaman:

Tags

Terkini

Pemprov Jabar Dorong Proses Sertifikasi Aset Negara

Sabtu, 20 Desember 2025 | 17:16 WIB

Begini Cara Pemprov Jabar Era KDM Cegah Bencana Alam

Sabtu, 20 Desember 2025 | 17:10 WIB