Jakarta, Klikaktual.com - Dharma Oratmangun selaku Ketua LMKN menegaskan pemutaran rekaman suara alam seperti kicauan burung di kafe atau restoran tetap termasuk objek royalti. Hal ini karena suara tersebut adalah hasil rekaman fonogram yang memiliki hak produser.
Ia mengungkapkan bahwa tren usaha kuliner yang memutar suara alam untuk menghindari royalti adalah pandangan keliru yang bisa berujung pelanggaran hukum.
“Putar suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak,” katanya.
Dia menambahkan bahwa tidak hanya musik dan lagu, semua bentuk rekaman audio yang diputar secara komersial harus melalui pembayaran royalti melalui LMKN.
Baca Juga: Insiden KRL Anjlok, Perjalanan Bogor–Jakarta Terhambat
Menurutnya larangan mengelak dengan suara alam bukan langkah solusi karena semua rekaman bahkan tanpa lirik tetap masuk dalam perlindungan hak terkait.
Pemutaran lagu-lagu luar negeri juga wajib membayar royalti melalui LMKN karena adanya perjanjian kolektif internasional.
Baca Juga: Besaran UMK Daerahdi Provinsi Jawa Barat Tahun 2025, Dari Terbesar Hingga Terkecil
Sebagai informasi, tarif royalti untuk usaha seperti kafe dan restoran sudah diatur resmi yaitu Rp120.000 per kursi per tahun, mencakup jutaan lagu yang bisa diputar bebas tanpa membayar per lagu.
Menurut Dharma, saat ini sosialisasi peraturan masih berlangsung dan banyak pemilik usaha yang belum memahami esensi kewajiban royalti termasuk soal rekaman audio non-musik.
LMKN membuka pintu dialog bagi pelaku usaha untuk mendiskusikan mekanisme pembayaran dan transparansi distribusi royalti agar industri tetap berjalan adil dan berkelanjutan. (mochamad haris sundapa)