JAKARTA, Klikaktual.com - Ketua Umum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa memberikan klarifikasi terkait penentuan tanggal peringatan Harlah ke 78 Muslimat NU yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 20 Januari 2024 kemarin.
Dalam harlah muslimat NU ke 78 itu, Ia menyebut, ketentuan ini dilakukan sebagai penyesuaian perhitungan antara bulan Hijriah dan Masehi.
"Hijriahnya 26 Rabiul Akhir, sudah lewat. Maka saya sebetulnya sudah beberapa kali datang ke daerah dalam rangka Harlah Muslimat NU. Jadi, ini bukan dimajukan. Ini di tengah-tengah antara hijriah dan masehi," kata Khofifah, di GBK Jakarta, dikutip dari laman nu.or.id.
Dalam kesempatannya itu, ia juga menyinggung soal pelaksanaan Harlah NU dan Harlah Muslimat NU yang dilakukan bersama, pada saat Harlah ke 60 di GBK pada masa KH Hasyim Muzadi.
Hal itu, menunjukkan bahwa perhelatan bersama antara Harlah NU dan Harlah Muslimat NU sudah pernah dilakukan sebelumnya.
"Kemudian, kalau kita merangkaikan dengan HUT-nya di GBK, ini juga bukan yang pertama. Kita juga sudah pernah melakukan seiringan antara HUT NU dan HUT Muslimat NU zaman KH Hasyim Muzadi waktu itu," ungkapnya.
"Artinya, memang suasananya ini sangat potensial menimbulkan prediksi dan praduga. Tapi, saya ingin menyampaikan kepada kita semua betapa bahwa memasuki perhelatan yang sangat strategis 14 Februari, kita butuh doa. Kita butuh dzikir bersama," sambungnya.
Ia juga menjelaskan bahwa, Harlah ke 78 Muslimat diisi dengan sejumlah kegiatan termasuk khataman Al-Qur'an sebanyak 2.024 kali, shalat tahajud dan hajat bersamaan, dan shalawat.
Baca Juga: Sum 41 Siap Gelar Konser di Dua Kota di Indonesia, Yuk Cek Info Lengkapnya!
Menanggapi pertanyaan mengenai patokan waktu harlah yang menggunakan kalender Hijriah atau Masehi, Khofifah menyatakan bahwa hal tersebut tergantung pada masing-masing daerah.
"Tergantung. Makanya kalau harlah bisa 6 bulan. Tergantung ada yang pakai hijriah, ada yang pakai masehi," jelasnya.
Selain itu, alih-alih menduga adanya politisasi acara Harlah Muslimat untuk kepentingan kampanye, Khofifah menekankan bahwa masyarakat perlu melihat esensi dari kegiatan yang diselenggarakan.
"Apa yang ada di dalam proses ini? Apa ada simbol-simbol? Apa ada logo-logo? Atau ada apa yang patut diduga? Kalo misalnya tausiah, Rais Aam (KH Miftachul Akhyar) isinya bagaimana," tegasnya.
Kemudian, tausiah ketua umum PBNU, ia merasa tidak ada sesuatu yang patut dicurigai, kecuali yang hatinya memang sudah curiga.***