DARI jahiliyah menuju khairu ummah. Demikian kira-kira gambaran konteks di mana Rasulullah Muhammad Saw diinformasikan Allah Swt untuk mengubah kondisi kebodohan menuju kemuliaan, melalui wahyu pertama, yaitu surah al-‘Alaq ayat 1-5.
Dalam perjalanan mengubah kejahiliyahan tersebut, betapa tak sederhana rintangan yang haryus ditembus. Dan bukan hal pragmatis untuk sekelas manusia istimewa -Rasulullah Muhammad Saw-, mendidik masyarakat hingga 23 tahun lamanya. Proses pendidikan yang tak sebentar. Bahkan tantangan dalam bentuk penolakan (skeptisme) dan perlawanan, masih saja menderas hingga beliau berada di ujung hayat.
Pun secara fenomenal, di dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini mengais kegelisahan dalam mencerna fenomena praktik-praktik feodalisme yang hidup di zamannya di mana hal demikian berpengaruh terhadap terbatasnya hak perempuan untuk berpikir maju.
Buku yang awalnya merupakan kumpulan surat-surat R.A. Kartini kepada sahabat-sahabat Eropa lalu dituangkan oleh Mr. J.H. Abendanon dengan judul aslinya adalah “Door Duisternis tot licht”. Buku kumpulan surat itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armijn Pane “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Salah satu highlight yang bisa diambil dari buku tersebut adalah bagaimana perempuan memiliki modalitas berpikir. Dan modalitas itu diperoleh melalui kancah pendidikan. Kegelisahan Kartini terkait denyut pendidikan perempuan pun cukup terkorelasi dengan apa yang ditegaskan oleh Witherington (1952) menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.
Artinya, dengan hak yang dimilikinya untuk meraih pendidikan dan memuliakan implikasinya pada ragam bidang kehidupan, perempuan tengah mempersiapkan kehidupan yang lebih global dan universal. Artinya lagi, ketika perempuan mampu menempuh kulitas pribadi, maka akan menjadi dongkrak kualitas bagi keluarga terkecilnya, untuk lingkungan sekitarnya dan untuk masyarakat luas. Hal ini selaras dengan sebuah definisi bahwa perempuan (Ibu) adalah pendidik bangsa, sebagaimana dinyatakan oleh Hafedz Ibrahim: “ Ibu adalah sekolah bila kau persiapkan. Engkau telah mempersiapkan rakyat yang baik lagi kuat” (Nurfuadi, 2012:171).
Secara berulang, dikatakan, disitasi, dijadikan pijakan, bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia, kalaulah kita tafakuri kedalamannya, hakikatnya adalah sebuah pekerjaan yang sangat tak mudah. Bahkan tak cukup hanya sampai pada level jargonis alias level retorika alias "omong doang".