ragam

[OPINI] Apakah Saya (Sudah) ber-Islam?

Selasa, 18 Oktober 2022 | 21:12 WIB
Ilustrasi sholat. (Pexels/Bilal Furkan KOŞAR)

ISLAM merupakan rahmat bagi semesta dan harus “murtad” dulu jika kita ingin memahami agama kita sendiri. Kalimat tersebut tidak ditunjukan sebagai kata-kata provokatif yang mengajak orang lain untuk keluar atau meninggalkan kepercayaan yang dianut selama ini.

Terdapat tanda kutip dalam kata murtad tersebut, artinya jika kita ingin memahami agama kita secara objektif tanpa menyalahkan agama lain di luar kepercayaan kita, maka kita harus berani berpikir melihat Islam secara terbuka dan objektif atau berani out of the box.

Jika ingin mengetahui Islam, kita harus memberanikan diri keluar dari kotak doktrin dan ideologi serta mendobrak dogma yang dipahami selama ini. Apa fungsi keluar dari kotak tersebut? Tentu untuk melihat Islam dan agama-agama lain dari berbagai sisi dan sudut pandang.

Baca Juga: Link Live Streaming, Line Up dan Prediksi Skor La Liga Sevilla vs Valencia

Semakin horizon pengetahuan kita berkembang, maka horizon tersebut akan semakin meluas dan membentangkan pengetahun seiring dengan perkembangan cara berpikir kita.

Hal tersebut sesuai dengan kisah perjalanan penulis selama menapaki jejak kehidupan dalam pencarian Tuhan, sehingga pada mulanya penulis mendapati bahwa Tuhan yang saya sembah (baca: Allah) merupakan satu-satunya Tuhan yang tidak boleh disekutukan dengan apapun. Hingga saat ini pun saya tetap percaya dengan ajaran orang tua saya.

Seiring dengan bergantinya waktu, dengan sangat pede-nya saya sempat bergumam dalam hati bahwa saya bersyukur karena dilahirkan oleh seorang wanita muslimah sehingga saya pun terdidik di tengah keluarga muslim. Pada saat itu saya merasa menjadi bagian dari orang-orang beruntung dan selamat. Seperti kisah-kisah klasik yang sering saya dengar bahwa orang-orang yang akan selamat adalah orang Islam.

Baca Juga: Dukung Produk Lokal, Tokopedia Bawa Brand Indonesia ke Ajang Fesyen Dunia

Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas sampai sekarang saya dianugerahi kawan-kawan non-muslim. Mereka adalah kawan-kawan yang baik, mudah berempati dengan orang lain, menjunjung solidaritas, tidak pernah mengganggu ibadah orang Muslim, dan menghargai serta menghormati agama lain tanpa pernah menyakiti sesama manusia yang berbeda keyakinan.

Lalu, suatu ketika saya berpikir, “Apakah orang-orang baik seperti mereka akan masuk neraka karena mereka tidak beragama Islam? Jika seperti itu, apakah itu adil untuk mereka? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang bermodal KTP dengan kolom agama yang sudah tertulis kata ‘Islam’ namun tidak berlaku jujur, membenci orang di luar kaumnya, masih menyakiti hati sesama Muslim, dan sebagainya?

Baca Juga: 6 Obat Alami Ini Terbukti Ampuh untuk Ringankan Gejala Menopause

Apakah mereka akan tetap selamat dan masuk surga karena mereka berteriak-teriak mengaku Islam? Lalu sebenarnya siapa yang akan selamat?” berbagai pertanyaan muncul silih berganti membuntuti deretan pertanyaan sebelumnya. Rasanya tidak adil jika ada seseorang yang memiliki “kenalan orang dalam” untuk masuk surga hanya dengan check-in menggunakan KTP yang tercantum kata “Islam” di kolom agama.

Rumitnya berbagai pertanyaan serta kegelisahan layaknya benang kusut tersebut satu persatu mulai diurai dengan bantuan tangan seorang dosen yang saya temui di sebuah kelas. Ia mengajak saya keluar dari kungkungan kotak yang membatasi paradigma berpikir saya selama ini yang sempit.

Perkataan yang masih saya ingat hingga detik ini adalah bahwa setiap agama pasti mengajarkan kebaikan. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan tentang keburukan. Jika ada sebuah kelompok yang bersepakat untuk melakukan keburukan, maka hakikatnya itu tidak disebut sebagai agama.

Halaman:

Tags

Terkini

14+ Ucapan Hari Ibu, Sederhana, Berkesan dan Penuh Makna

Minggu, 21 Desember 2025 | 18:25 WIB